Belajar Sabar dan Syukur dari Abu Qilabah




Abu Qilabah merupakan seorang sahabat Nabi SAW yang banyak meriwayatkan hadits. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi. Sepanjang hayatnya, sosok dari Basrah tersebut dikenal sebagai ahli ibadah yang zuhud. Ia wafat di Suriah pada tahun 104 hijriah.

Dialah sahabat Rasulullah SAW yang terakhir kali wafat. Orang-orang Muslimin yang pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW sebelumnya telah terlebih dahulu berangkat ke rahmatullah.

Di antara keteladanan Abu Qilabah tergambar dalam kisah yang dituturkan Abdullah bin Muhammad sebagai berikut.

Suatu kali, peperangan berkecamuk di daerah sekitar Syam. Abdullah terlepas dari sesama prajurit Muslim dan terdampar di sebuah tanah lapang dekat pesisir. Bekal yang dimilikinya kian menipis, sedangkan dia sendiri tak tahu arah. Langkah kakinya terhenti. Samar-samar, dia melihat adanya kemah yang berdiri tegar diterpa angin gurun.

Abdullah pun mendekati tenda yang terkesan kumuh itu. Di dalamnya, dia mendapati seorang tua yang kedua tangan dan kakinya tak lengkap lagi. Tidak hanya itu, Abdullah kemudian menyadari, pendengaran orang tua tersebut tidak normal. Matanya pun telah rabun. Hanya lidahnya yang masih fasih berkata.

Diam-diam, Abdullah menyimak untaian kata dari lisan pemilik tenda itu. “Wahai Allah, berilah aku petunjuk agar dapat terus memuji-Mu sehingga aku dapat menunjukkan rasa syukur atas berbagai nikmat yang telah Engkau berikan. Sungguh, Engkau telah melebihkan diriku di atas kebanyakan manusia,” demikian ujarannya berkali-kali.

Abdullah tak dapat menahan rasa heran.

Bagaimana mungkin, dengan kondisi fisik yang serba kekurangan, orang tua itu tetap melihat sisi positif dari kehidupannya? Dengan pelan, dia membisikkan pertanyaan ke pemilik tenda itu, sesudah beberapa lamanya mengucapkan salam.

“Wahai, Tuan. Aku mendengarmu tadi berkata demikian. Dan engkau baru saja menyatakan, Allah telah melebihkanmu atas banyak orang. Nikmat apa yang telah Rabbmu anugerahkan sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut? Apa kelebihan yang engkau maksudkan?”

Yang ditanya kemudian berkata, “Bagaimana mungkin engkau tidak melihat apa yang telah dilakukan Tuhanku kepadaku? Demi Allah, seandainya ada halilintar datang menerjangku, menghanguskan tubuhku, atau gunung-gunung diperintahkan-Nya untuk menindihku, atau laut menenggelamkanku, bumi menelan tubuhku—dengan itu semua aku akan tetap bersyukur kepada Rabbku. Bahkan, aku kian bersyukur! Sebab, Dia telah memberikan nikmat berupa lidah ini.”

Orang tua itu menunjuk pada bibirnya. Abdullah masih menunjukkan raut wajah heran.

“Wahai, hamba Allah,” lanjut sang tuan rumah, “Engkau telah datang ke dalam tendaku, mungkin engkau memerlukan bantuan?”

Sebelum Abdullah sempat menjawab, orang tua itu lebih dahulu berkata.

“Kalau diriku, memang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu. Aku tidak mampu bergerak bahkan bila ada bahaya sampai ke tenda ini. Hanya saja, aku memiliki seorang anak laki-laki. Kepada dialah aku sering meminta pertolongan. Bila tiba waktunya shalat, dia membantuku untuk berwudhu. Kapanpun aku lapar, dia datang dengan makanan lalu menyuapiku. Ketika aku haus, dia memberiku minum,” tutur dia.

Abdullah melihat ke sekeliling bagian dalam tenda ini. Tak satupun dia melihat orang selain dirinya sendiri dan orang tua ini. Seolah-olah menjawab keheranan itu, sang pemilik tenda itu menjelaskan lagi.

“Namun, sudah tiga hari belakangan ini aku tidak lagi mendengar atau melihat anakku itu. Aku kehilangan dirinya. Bila engkau berkenan, wahai musafir, apakah bisa engkau menemukannya? Semoga Allah membalas kebaikanmu,” ujar sang orang tua dengan nada meminta.

Abdullah yang awalnya datang hendak meminta pertolongan kini menjadi pihak yang menolong. Sesungguhnya, dia bisa saja mengabarkan kepada orang tua itu, betapa daerah kosong pesisir pantai ini tak dijumpainya orang satu pun. Akan tetapi, sebaiknya jangan memupus harapan sebelum benar-benar berupaya.


Abdullah pun keluar dari tenda kecil itu. Dia berjalan ke sana-kemari, mencoba menelusuri keberadaan si anak yang hilang.

Demi Allah, aku menunaikan keperluan terhadap saudaraku yang seiman. Insya Allah, Allah memberikan pahala yang besar kepadaku, gumamnya di dalam batin.

Tiba-tiba, Abdullah mendapati jejak kaki manusia di dekatnya. Dia pun menelusuri terus. Sampailah dia pada pemandangan yang sangat memilukan. Bocah lelaki yang dicarinya itu ternyata sudah meninggal diterkam kawanan singa.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un! Bagaimana caranya aku memberitahukan hal ini kepada orang tua itu?”

Meski sempat terkejut, setelah beberapa saat Abdullah pun dapat meyakinkan dirinya sendiri. Bagaimanapun, orang tua itu (waktu itu Abdullah belum menyadarinya sebagai Abu Qilabah) harus mengetahui kematian anaknya ini.

Biarlah Allah SWT yang menentukan bagaimana nasibnya nanti.


“Assalamualaikum,” ujar Abdullah begitu memasuki tenda.

“Waalaikum salam,” jawab orang tua ini, “Engkaukah itu yang tadi menemuiku?”

“Ya,” kata Abdullah.

“Bagaimana hasilnya dengan pencarianmu tadi? Adakah engkau berhasil menemukan anakku?”

“Tuan, apakah engkau tahu tentang kisah Nabi Ayyub ‘alaihi sallam?” Abdullah mencoba membuka penjelasannya.

“Tentu saja. Dia merupakan salah seorang rasul yang mulia.”

“Engkau mengetahui bagaimana Nabi Ayyub diuji oleh Allah SWT. Rabbnya telah mengujinya dengan harta, keluarga, dan anak-anaknya,” tutur Abdullah.

“Tentu, aku tahu itu.”

“Tahukah engkau bagaimana sikap Nabi Ayyub atas cobaan-cobaan itu?” tanya Abdullah lagi.

“Ia selalu bersabar, bersyukur, dan memuji Allah,” jawab orang tua tersebut.

“Sekalipun Nabi Ayyub dijauhi kerabat dan sahabat-sahabatnya?”

“Betul, ia tetap demikian, bersyukur dan memuji Allah. Langsung saja, apa maksudmu dengan menceritakan perihal Nabi Ayyub? Semoga Allah merahmatimu,” tanya orang tua itu karena merasakan ada maksud dari tamunya tersebut.

“Sungguh, aku telah menemukan putramu, tetapi dia telah meninggal dunia. Jasadnya ada di antara gundukan pasir dan diterkam kawanan binatang buas. Semoga Allah melipatgandakan pahala engkau yang bersabar atas musibah ini,” jelas Abdullah.

“Segala puji bagi Allah. Dia telah menciptakan bagiku keturunan yang tidak bermaksiat kepada-Nya,” kata orang tua itu.

Tak lama kemudian, pemilik tenda tersebut menarik nafas panjang, dan meninggal dunia.

“Inna lillah wa inna ilaihi roji’un….” ujar Abdullah.


***

Kini, Abdullah menjadi bingung. Apa yang akan dilakukannya terhadap jasad orang tua itu.

Tidak mungkin membiarkannya begitu saja. Jangan sampai sekumpulan binatang buas mendeteksinya lalu memakannya.

Awalnya, Abdullah menutupi jasad tersebut dengan kain yang ada di dekatnya. Dia pun keluar dari tenda untuk mencari-cari bantuan.

Tak disangka, Abdullah melihat dari arah nun jauh di sana. Beberapa orang sedang menunggangi kuda. Salah satu dari mereka tampak lebih rapi. Pakaiannya yang berwarna keperakan memantulkan sinar matahari. Abdullah pun berteriak dan melambaikan tangan kepada mereka.

Orang-orang itu menyadari panggilan tersebut. Mereka pun mendekatinya.

“Ada apa wahai hamba Allah?” tanya mereka.

“Aku meminta bantuan kalian,” jawab Abdullah sambil menunjuk tenda asalnya, “Di dalam sana ada jenazah seorang tua. Dia baru saja meninggal.”

“Orang tua bagaimana?” tanya pria yang memakai baju mewah.


Abdullah pun menuturkan perawakan wajah serta kondisi fisik orang tua yang baru saja wafat itu. Orang-orang yang ada di hadapannya justru menjadi terkejut.

“Bukankah beliau yang kita cari!?” seru salah satu di antaranya.

Mereka pun bergegas masuk ke dalam tenda. Pria yang berpakaian mewah lantas membuka penutup wajah jasad itu. Kemudian, dia memeluknya dan menangis tersedu-sedan. Menyaksikan itu, Abdullah tentu saja keheranan.

“Ya Allah, Engkau telah memanggilnya. Dia yang matanya selalu jauh dari melihat hal-hal yang diharamkan-Mu. Dia yang selalu sujud tatkala orang-orang lelap tertidur,” kata dia.

“Siapakah orang ini. Mungkin Tuan dapat menceritakannya untukku?” tanya Abdullah.

Setelah mereda tangisnya, orang itu pertama-tama memperkenalkan dirinya. Dia adalah seorang utusan raja Muslim yang memang ditugaskan untuk mencari-cari keberadaan orang tua tersebut.


“Beliau yang wafat ini adalah Abu Qilabah al-Jarmi. Dia seorang sahabat Rasulullah SAW!” jawab utusan raja itu.

“Kami mencarinya ke mana-mana sebab raja kami hendak meminta beliau untuk menjadi kadi istana. Akan tetapi, kabar itu lebih dahulu tiba kepadanya sehingga beliau lari dari negeri kami. Dia membawa serta seorang anak laki-laki. Tadi kami menemukan jasad putranya dimakan singa,” cerita pendamping utusan raja.

Akhirnya, Abdullah menyadari. Sahabat Nabi SAW bernama Abu Qilabah ini tidak ingin terseret menjadi ulama penguasa. Maka itu, ia lebih memilih menyingkir ke padang pasir yang tandus, meski akhirnya kehilangan kedua kaki dan tangannya, serta meninggal dunia.

Ketiga orang itu lantas mengurus jenazah Abu Qilabah dan menshalatkannya. Utusan raja itu kembali ke negerinya dengan hati yang amat sedih.


Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian.

Share on Google Plus

Bersama Khadimul Ummah

"Berbagi Tuk Sesama Tak Harus Menunggu Kaya"

0 komentar:

Posting Komentar